BOJONEGORO, FREKWENSIPOS.COM – Proyek pembangunan jaringan penyulang baru oleh PLN UP3 Bojonegoro, yang membentang dari wilayah barat Kabupaten Bojonegoro hingga Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, kini menjadi subjek sorotan publik intensif. Proyek yang bertujuan mendukung infrastruktur kelistrikan bagi “Cepu Raya” ini terancam oleh masalah fundamental terkait legalitas pemasangan tiang listrik (pal) di atas tanah bersertifikat hak milik (SHM) warga, bahkan melintasi aset milik PUPR Kabupaten Blora. Isu ini menimbulkan keraguan serius terhadap due diligence dan praktik governance dalam pelaksanaan proyek strategis.
Klaim Keresahan Warga dan Minimnya Sosialisasi
Keresahan warga di lapangan semakin menguat. WN, seorang pemilik lahan yang tanahnya telah terpasang pal listrik, menyatakan keberatan terbuka. Ia menyoroti potensi risiko keselamatan yang tinggi bagi keluarganya serta menuding proyek berjalan tanpa sosialisasi memadai atau pemberian kompensasi yang sesuai.
“Sebetulnya saya keberatan tanah milik saya ini dipasang pal, karena selain mengganggu juga sangat berisiko. Pemasangannya kurang dalam juga. Kalau sampai roboh atau terjadi hal lain dan menimpa keluarga saya, siapa yang bertanggung jawab?” ujar WN, Minggu (14/12/2025).
Ironisnya, ditemukan pula pal listrik lama yang berdiri di atas area vital rumah warga, seperti dapur, tanpa adanya solusi pemindahan yang responsif, mencerminkan adanya legacy issues dalam manajemen aset kelistrikan.
PLN ULP Padangan: Keterbatasan Kewenangan dan Isu Transparansi
Dalam upaya mencari kejelasan, awak media mengonfirmasi Manajer PLN ULP Padangan, Burhan. Burhan menegaskan bahwa ULP Padangan hanya bertindak sebagai pengawas lapangan, sementara full authority dan kebijakan proyek berada di tangan PLN UP3 Bojonegoro.
“Kami di ULP Padangan ini hanya pengawasan di lapangan. Yang berkompeten langsung dan memiliki kewenangan penuh adalah PLN UP3 Bojonegoro,” tegas Burhan, Selasa (16/12/2025).
Meskipun membenarkan proyek ini merupakan bagian dari dukungan infrastruktur untuk proyek Cepu Raya yang diinisiasi oleh Menko PMK Pratikno, Burhan memilih menahan informasi krusial. Ia secara eksplisit menolak menyebutkan nama vendor pelaksana maupun nilai anggaran proyek, mengklaim hal tersebut bukan kapasitasnya. Sikap tertutup ini memicu pertanyaan tentang prinsip public disclosure dan transparency yang wajib dipenuhi oleh proyek yang didanai publik dan berdampak langsung pada masyarakat.
Klaim Izin Lokal dan Ketiadaan Konfirmasi
Burhan sempat mengklaim bahwa pemasangan pal telah dikoordinasikan dengan kepala desa dan Forkopimcam, termasuk dengan Camat Kasiman, Novita Sari. Namun, upaya konfirmasi langsung kepada Camat Kasiman dan Manajer PLN ULP Cepu tidak membuahkan hasil. Ketiadaan klarifikasi dari pihak berwenang hanya memperkeruh isu dan meningkatkan tuntutan publik akan clarity dan due process.
Isu Kunci yang Belum Terjawab
Serangkaian fakta ini menggarisbawahi kegagalan dalam stakeholder management dan menimbulkan sejumlah pertanyaan kunci yang memerlukan respons segera dari PLN UP3 Bojonegoro:
Apakah pemasangan di atas SHM warga telah memenuhi prosedur persetujuan tertulis dan kompensasi lahan sesuai eminent domain?
Bagaimana evaluasi risiko keselamatan warga (HSE) terkait lokasi pemasangan?
Mengapa informasi vendor dan nilai proyek bersifat non-disclosable, bertentangan dengan semangat transparansi proyek publik?
Apa dasar hukum (legal standing) pemasangan pal di atas aset tanah milik PUPR Kabupaten Blora?
Proyek kelistrikan strategis, yang merupakan pilar national infrastructure, harus dijalankan dengan standar professionalism tertinggi, mengedepankan hak warga, dan mematuhi prinsip good governance. Hingga berita ini diterbitkan, awak media masih menunggu klarifikasi resmi dan hak jawab dari PLN UP3 Bojonegoro, PLN ULP Cepu, dan Pemerintah Kecamatan Kasiman. ( WHY )



