Ngawi, FrekuensiPos.com // Aksioma yang mengatakan bahwa kesehatan adalah hak fundamental warga negara seakan tercerabut dari akarnya di Puskesmas Geneng, Ngawi. Sebuah pemandangan yang tak hanya memprihatinkan, namun juga memantik kegeraman, terekam oleh awak media FrekwensiPos pada 20 Agustus 2025.
Puluhan pasien, banyak di antaranya lansia dan dalam kondisi lemah, berbaris layaknya tawanan perang di sebuah “kamp konsentrasi” birokrasi, menanti proses administrasi rujukan yang teramat berbelit . Ini bukanlah sekadar antrean, melainkan sebuah pertunjukan disfungsi institusi yang mengabaikan esensi dari sebuah layanan publik belum lagi pasien / keluarga pasien disuguhi oleh pelayanan yang jauh dari humanis.
Seorang perwakilan keluarga pasien BPJS yang tak ingin disebutkan namanya, membagikan sebuah narasi yang tak masuk akal dan membenarkan pelayanan yang kurang humanis dari petugas pelayanan adminitrasi UPT Puskesmas Geneng . “Untuk rujukan pasien yang akan melakukan periksa ulang, secara administrasi diwajibkan membawa pasien.” Sebuah paradoks yang menohok: pasien yang sedang dalam kondisi rentan justru dipaksa keluar dari rumahnya untuk sebuah proses yang seharusnya bisa dipermudah. Kebijakan ini, yang dianggap sebagai sebuah inkonsistensi dalam pelayanan, secara fundamental merendahkan martabat manusia.
Perwakilan tersebut harus membuat keputusan pahit untuk , menunda pengajuan rujukan periksa ulang orang tuanya yang telah ditetapkan tanggal 27 Agustus 2025, hanya untuk memenuhi sebuah prosedur yang irasional.
Situasi ini tak hanya menimbulkan ketidak nyamanan, melainkan juga potensi bahaya. Pasien lansia yang rentan dipaksa berinteraksi dengan pasien lain, meningkatkan risiko penularan penyakit menular. Sebuah fiksi bahwa pasien akan sembuh justru berbalik menjadi distopia di mana mereka rentan tertular penyakit baru.
Dalam percakapan dengan awak media, perwakilan keluarga pasien dengan nada penuh harap mengutarakan sebuah deklarasi moral: “Semoga pelayanan kesehatan khususnya di Kabupaten Ngawi lebih manusiawi dan ramah.”
Ironisnya, di tengah narasi digital yang gembar-gembor tentang “kesehatan adalah prioritas”, realitas di lapangan menunjukkan sebuah potret yang suram. Ini adalah manifestasi dari sistem yang gagal, di mana protokol mengalahkan empati, dan birokrasi membungkam kemanusiaan.
Seluruh keluarga pasien yang terbebani oleh prosedur ini pun bersatu dalam satu harapan , sebuah pelayanan yang tak merepotkan, manusiawi, dan ramah. Ini bukan sekadar permintaan, melainkan sebuah eskalasi dari kekecewaan yang telah terakumulasi.( Red** )