Jakarta,FrekwensiPos.Com // 17 Juni 2025 Kampanye “Save Raja Ampat” mendadak menjadi sorotan publik, menyuarakan tuntutan tegas untuk menghentikan eksploitasi alam di kawasan yang dijuluki “surga terakhir di bumi” tersebut. Ancaman utama datang dari pertambangan nikel yang dinilai merusak ekosistem laut dan hutan tropis di wilayah konservasi itu.
Pada Selasa (3/6/2025), dalam gelaran Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025 di Jakarta, Greenpeace dan Masyarakat Adat Papua secara lantang memprotes dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel. Di hadapan peserta dari berbagai negara, mereka mendesak penghentian total eksploitasi industri nikel yang menyebabkan kerusakan ekologis dan sosial yang parah.
Kerusakan Lingkungan Akibat Jerat Oligarki dan Kapitalisme
Data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa terdapat 380 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel di Indonesia dengan total luas mencapai 983.300,48 hektar. Ironisnya, alih-alih membawa kesejahteraan, pengerukan nikel justru memperparah kerusakan alam dan kemiskinan masyarakat.
Indonesia bahkan memegang rekor deforestasi hutan tropis tertinggi di dunia akibat industri pertambangan, menyumbang 58,2 persen dari 26 negara yang diteliti (Kompas, 13 September 2022). Deforestasi ini mencapai puncaknya pada periode 2010–2014 dan terus berlanjut hingga saat ini. Kondisi ini tak lepas dari kebijakan pemerintah yang mengizinkan pembukaan tambang oleh korporasi, termasuk di daerah konservasi, seolah menyerahkan sumber daya alam rakyat kepada segelintir oligarki.
Kerusakan ekologi masif ini berakar pada sistem ekonomi Kapitalisme, yang memungkinkan segelintir oligarki—pemilik perusahaan besar atau individu kaya—menguasai dan mempengaruhi kebijakan publik demi kepentingan mereka. Dalam sistem ini, tanah dan sumber daya alam dianggap sebagai komoditas, dan negara bertindak sebagai fasilitator kepentingan modal. Atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, hutan lindung, laut, bahkan hak masyarakat adat, dapat dikorbankan, seperti yang terjadi di Raja Ampat, wilayah konservasi yang seharusnya dilindungi.
Oligarki, sebagai “anak kandung” Kapitalisme, adalah penguasa dan pengendali ekonomi sesungguhnya, bukan pemerintah. Dalam eksplorasi tambang, mereka lihai menggunakan lobi, kampanye politik, dan media untuk mempertahankan status quo serta menghindari tanggung jawab ekologis. Dampak gabungan dari Kapitalisme yang rakus dan kekuasaan oligarki menciptakan berbagai kerusakan lingkungan, mulai dari deforestasi untuk pertanian komersial atau tambang, pencemaran udara dan air, hingga perubahan iklim.
Seringkali, elite ekonomi dan politik memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menguras sumber daya alam demi keuntungan pribadi, mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas dan keberlanjutan lingkungan. Korporasi raksasa dengan pongah mengambil alih ribuan hektar tanah, mengusir masyarakat adat dan petani kecil. Proyek infrastruktur skala besar seperti bendungan, tambang, dan kawasan industri sering kali merusak lingkungan lokal dan melanggar hak-hak komunitas.
Kerakusan kaum oligarki ini tidak mendapat hambatan karena koneksi langsung mereka ke kekuasaan politik, memungkinkan mereka membentuk undang-undang, meloloskan izin, dan menghindari sanksi hukum. Aparat negara seringkali justru melindungi kepentingan korporat, bukan rakyat. Akibatnya, terjadi ketimpangan ekonomi yang makin tajam, konflik agraria, kriminalisasi terhadap pembela lingkungan, hingga krisis iklim global dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Larangan Merusak Lingkungan dalam Islam dan Solusi Syariah
Ulah jahat Kapitalisme melalui tangan-tangan oligarki akan terus menciptakan kerusakan ekologi, memiskinkan rakyat, dan mendatangkan berbagai bencana. Padahal, Islam secara tegas melarang tindakan merusak lingkungan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-A’raf [7]: 56:
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفًا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيْبٌ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah bumi itu Allah perbaiki. Berdoalah kalian kepada Dia dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sungguh rahmat Allah amat dekat dengan kaum yang berbuat baik.”
Ironisnya, proyek tambang ini sering diklaim sebagai bagian dari “transisi hijau”, padahal metode penambangannya jelas merusak hutan, mencemari laut, dan mengganggu kehidupan masyarakat lokal. Inilah watak Kapitalisme: menyulap perusakan menjadi keuntungan, membungkus eksploitasi dengan jargon pembangunan berkelanjutan. Hal ini telah Allah ingatkan dalam firman-Nya (QS ar-Rum [30]: 41):
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena ulah tangan manusia. (Dengan itu) Allah bermaksud menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Berbagai bencana ini adalah “hukuman” sebagai konsekuensi dari sebagian kemaksiatan manusia di dunia, bertujuan agar mereka bertobat kepada Allah SWT dan kembali pada syariah-Nya, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Sistem Islam
Kerusakan ekologi akibat penambangan oleh oligarki adalah buah dari kesalahan konsep kepemilikan. Dalam Islam, tambang, sebagaimana sumber daya strategis lainnya, adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah) yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Semua SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak haram dimiliki swasta atau asing, apalagi diprivatisasi. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
المُسْلِمُوْنَ شُركَاء فِي ثَلاَثٍ: فِي اْلمَاءِ، وَالْكَلإَ، وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Oleh karena itu, dalam sistem Islam, tambang nikel (skala besar) haram dimiliki swasta apalagi asing. Tambang akan dikelola sepenuhnya oleh negara, tanpa merusak ekologi, dan hasilnya untuk kemaslahatan umat secara adil. Manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi (QS al-Baqarah [2]: 30), sehingga alam adalah amanah dari Allah SWT yang harus dijaga. Alam boleh dimanfaatkan, tetapi tidak boleh merusak lingkungan. Islam memastikan pengelolaan sumber daya alam harus sesuai dengan tuntunan syariah yang tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian. Allah SWT berfirman (TQS Hud [11]: 61):
هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيهَا فَٱسۡتَغۡفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
“Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu mohonlah ampunan-Nya, lalu bertobatlah kepada Dia. ‘Sungguh Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).’”
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Sumber daya milik umum ini akan dikelola oleh negara (Khilafah) sesuai tuntunan syariah Islam, semata-mata untuk kesejahteraan rakyat tanpa merusak ekologinya. Khalifah sebagai râ’in (pengurus rakyat) bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan milik umum demi kemaslahatan umat. Negara tidak boleh menjadi mitra bisnis korporasi tambang. Hasil tambang nikel atau sumber daya alam lain wajib dikelola oleh Khilafah dan hasilnya disalurkan ke Baitul Mal untuk pelayanan publik, bukan untuk investor atau elit politik.
Saatnya Tinggalkan Kapitalisme dan Kembali pada Sistem Islam
Eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat adalah cermin dari kegagalan sistem hukum jahiliah Kapitalisme dalam menjaga dan merawat amanah bumi. Ini adalah pengingat bahwa selama sistem kufur ini masih menguasai tata kelola negara dan sumber daya alam, kerusakan akan terus terjadi.
Saatnya bagi bangsa ini melepaskan diri dari jeratan sistem Kapitalisme yang terbukti rusak dan merusak, dan segera menerapkan sistem Islam secara kâffah. Penerapan sistem Islam secara kâffah adalah wujud keimanan dan ketakwaan hakiki, yang niscaya akan mendatangkan keberkahan, sebagaimana firman Allah SWT (TQS al-A’raf [7]: 96):
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menghukum mereka karena perbuatan mereka itu.” WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Allah SWT berfirman:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِ بِلۡيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡما لِّقَوۡمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50). Red**



