Proyek Rehabilitasi Polsek Kedewan Bojonegoro Didera Malpraktik Konstruksi dan Arogansi Kontraktor

banner 468x60

 Indikasi Lemahnya Integritas Pelaksana dan Pengawasan Teknis , Implikasi Kualitas Rendah pada Proyek Vital

BOJONEGORO.FREKWENSIPOS.COM  — Proyek rehabilitasi Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Kedewan di Kabupaten Bojonegoro, yang menelan anggaran miliaran rupiah dari Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya, kini menjadi subjek kontroversi publik dan dugaan malpraktik konstruksi. Kontrak pekerjaan senilai Rp 2.206.802.441,92, yang merupakan hasil penawaran turun sekitar 5% dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp 2.322.950.041,06, justru memperlihatkan regresi kualitas alih-alih efisiensi yang diharapkan.

banner 336x280

Hasil observasi lapangan menunjukkan sejumlah anomali teknis yang mengindikasikan pengerjaan jauh dari standar keprofesionalan:

 

Defisiensi Mutu Fisik: Pondasi pagar ditemukan berongga, saluran air tidak dilengkapi lantai dasar, dan pasangan batu yang inkonsisten secara pola dan hanya ditutupi adukan semen minimalis. Kualitas ini mengarah pada dugaan kuat diskrepansi antara spesifikasi teknis (RKS) dengan realisasi di lapangan.

 

Kecacatan Administratif dan K3: Tidak adanya papan nama proyek, yang merupakan instrumen wajib transparansi publik, serta pengabaian terhadap protokol keselamatan kerja. Para pekerja terpantau tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), mengabaikan implementasi Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK).

 

Terminologi Kunci: Penurunan harga penawaran harusnya diimbangi dengan efisiensi biaya tanpa mengorbankan integritas struktural dan mutu. Kualitas yang dipertanyakan ini memicu narasi tentang kegagalan manajerial di tingkat pelaksana.

 

Dugaan Pelanggaran Etika Pengadaan ‘ Praktik ‘Pinjam Bendera’ dan Jual Beli Proyek ‘

Informasi yang dihimpun menunjukkan adanya dugaan penyimpangan etika serius dalam proses pengadaan. Kontraktor pelaksana, yang diidentifikasi bernama Tono asal Tuban, diduga menggunakan mekanisme ‘pinjam bendera’ (penggunaan CV orang lain) dan bahkan terdapat indikasi transaksi jual-beli paket proyek.

 

Praktik semacam ini merupakan pelanggaran fundamental terhadap prinsip-prinsip kepatutan dan akuntabilitas yang digariskan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jika terbukti, hal ini bukan hanya merupakan delik administratif, tetapi juga erosi moralitas yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara dan mencoreng kredibilitas dunia usaha konstruksi di Bojonegoro.

 

Intimidasi Jurnalis , Manifestasi Arogansi dan Anti-Kritik

Aspek paling disorot dari kasus ini adalah perilaku intimidatif dan arogansi dari kontraktor Tono terhadap insan pers yang tengah melaksanakan fungsi kontrol sosial. Kontraktor tersebut dilaporkan pernah melontarkan ancaman, termasuk keinginan untuk ‘meringkus’ atau melaporkan wartawan ke pihak berwajib.

 

Sikap ini memicu pertanyaan mengenai kemapanan intelektual dan pemahaman kontraktor terhadap pilar-pilar demokrasi. Upaya penekanan terhadap jurnalis yang menjalankan tugas peliputan dan pengawasan (sesuai kaidah jurnalistik) berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang secara eksplisit menjamin kebebasan dan independensi pers. Tindakan ini adalah refleksi dari mentalitas anti-kritik yang tidak seharusnya ada dalam pelaksanaan proyek pemerintah yang tunduk pada pengawasan publik.

 

Respons Dinas Cipta Karya , Menanti Aksi Penegakan Integritas

Menanggapi laporan mengenai dugaan penyimpangan teknis dan perilaku kontraktor, Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Bojonegoro, Satito Hadi, memberikan konfirmasi singkat pada Rabu (5/11/2025).

 

“Nggih, Mas… nanti kami telusurinya. Terima kasih infonya,” ujar Satito Hadi.

 

Pernyataan singkat ini diinterpretasikan sebagai komitmen awal untuk melakukan telaah internal dan evaluasi. Namun, publik menunggu langkah progresif dan akuntabel dari dinas teknis, termasuk audit teknis mendalam dan penegakan sanksi administratif atau pidana jika terbukti adanya maladministrasi dan pelanggaran kontrak.

 

Konklusi: Kasus ini mencerminkan kebutuhan mendesak akan peningkatan kapabilitas pengawasan dan penegakan integritas profesional dalam rantai pengadaan barang/jasa pemerintah, demi memastikan bahwa anggaran publik dialokasikan untuk pembangunan yang berkualitas dan sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).( Why )

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *