NGAWI, FREKWENSIPOS.COM – Aroma kontroversi tak henti-hentinya menyelimuti SMAN 1 Kedunggalar (SMANIK), Kabupaten Ngawi. Setelah dikritik karena dugaan absen kerja yang intensif—bahkan nyaris tiga minggu—Kepala Sekolah (KS), Didik Anang Sunarto, kini dituding merumuskan sebuah kebijakan struktural yang secara ekstrem mencederai sendi-sendi ekonomi rakyat kecil. Kebijakan ini, yang disinyalir sebagai upaya purifikasi kawasan pendidikan yang berlebihan, telah berujung pada penutupan akses warung nasi pecel legendaris milik Bu Amir (61 tahun), seorang janda tua sebatang kara.

Diskursus Beton: Penutupan Akses dan Kontra-Narasi Kesejahteraan
Bu Amir, yang menggantungkan seluruh eksistensinya dari warung di pinggir sekolah yang telah berdiri sebelum gedung sekolah itu sendiri dibangun, harus menelan pil pahit. Akses vital melalui pintu pagar sekolah yang biasa dilalui para murid, guru, bahkan pelanggan KS sebelumnya, kini telah dibeton total oleh perintah KS Didik Anang Sunarto.
“Ya, semenjak KS Pak Didik itu, pagar sekolah yang dulu ada pintunya… ditutup dengan beton. Blas (sama sekali) enggak ada yang beli. Saya sudah protes, mbok ya dikasih lubang sedikit buat pesan makanan murid-murid, tapi tidak digubris. Ini tirani kebijakan yang melumpuhkan,” tutur Bu Amir dengan suara gemetar, menggambarkan diskrepansi moral antara institusi pendidikan dan praktik empati sosial. Warungnya, yang kini terisolasi, praktis tidak laku, menjerumuskan janda renta itu ke jurang ketidakpastian finansial.
Privatisasi Kantin Sekolah: Kapitalisasi Ruang Belajar dan Biaya ‘Intelektual’ Tinggi
Tragedi ini semakin memantik amarah publik setelah terungkapnya dugaan agenda komersial di balik penutupan warung lama. Bu Amir mengisahkan, KS Didik kini membangun enam kantin baru di area belakang sekolah. Ironisnya, untuk dapat menyewa kantin-kantin baru tersebut, pedagang diwajibkan membayar sewa tahunan sebesar Rp 4.000.000 (Empat Juta Rupiah) per warung.
“Ponakan saya sewa satu kok. Ada enam kantin di sana, jadi warung yang lama dibongkar semua. Dan sepeserpun tanpa ada uang santunan pembongkaran. Jan KS ini temen (keterlaluan),” tambahnya.
Kebijakan ini, yang menuntut modal besar, secara eksplisit menunjukkan kapitalisasi ruang publik dalam lingkungan pendidikan dan mengeliminasi daya saing pedagang mikro seperti Bu Amir. Ini merupakan contoh nyata dari rasionalisasi intelektual yang hanya menguntungkan pihak berduit, alih-alih memberdayakan masyarakat marjinal.
Inersia Kepemimpinan dan Dekadensi Lingkungan Pendidikan
Seperti pola yang sudah-sudah, Didik Anang Sunarto, KS SMANIKE, menunjukkan inersia komunikasi dengan menolak merespons konfirmasi yang dikirim via WhatsApp—meski pesan terpantau centang dua.
Sementara itu, kondisi fisik sekolah terpantau kian merefleksikan dekadensi kepemimpinan. Banner besar PPDB tahun lalu yang sudah lusuh dan pudar masih terpasang, taman di halaman kotor dan tidak terawat, serta onggokan barang-barang bekas yang menumpuk. Keadaan ini memperkuat kesan bahwa lingkungan pendidikan—yang seharusnya menjadi pusat keunggulan intelektual dan etika—tampak seperti tak diurus oleh penanggung jawab utamanya, menyisakan pertanyaan besar tentang integritas manajerial di SMAN 1 Kedunggalar. (Bd / Tim Investigasi)



