Ngawi, FrekwensiPos.Com – Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Ngawi menjadi sorotan tajam setelah Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), Mamik Subagyo, secara mengejutkan menyatakan bahwa verifikasi alamat perusahaan peserta tender tidak wajib melalui kunjungan lapangan. Pernyataan ini sontak memicu kegaduhan dan kekhawatiran akan potensi praktik culas dalam proyek-proyek bernilai fantastis di Ngawi.
Menurut Mamik, LPSE Ngawi hanya berpegang teguh pada validitas dokumen perizinan dan kesesuaian data pada Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP). “Kami hanya fokus pada dokumen perizinan dan kelengkapan administrasi lainnya. Jika ada perbedaan alamat, kami meminta klarifikasi tertulis. Tidak ada kewajiban untuk melakukan kunjungan lapangan,” tegas Mamik pada Rabu (18/6/2025), seolah meremehkan potensi penipuan atau perusahaan fiktif yang bisa saja bersembunyi di balik tumpukan berkas.
Pernyataan kontroversial ini diperkuat oleh Chandra, anggota Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan 7 Kabupaten Ngawi, yang menyebutkan bahwa seluruh tahapan pengadaan “terbuka” dan dapat diakses dari seluruh Indonesia. Namun, klaim “transparansi” ini justru menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana transparansi dapat dijamin jika validitas alamat perusahaan penyedia, sebuah aspek krusial dalam integritas tender, diabaikan?
Celah Mengerikan: Proyek Rp 200 Juta ke Atas Terancam Tanpa Pengawasan Fisik
Mamik juga menjelaskan bahwa pengadaan di bawah Rp200 juta dilakukan langsung oleh pejabat pengadaan, sementara nilai di atas Rp200 juta ditangani oleh Pokja Pemilihan. Ini berarti, proyek-proyek bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang seharusnya mendapatkan pengawasan ketat, kini berpotensi lolos tanpa verifikasi lapangan yang memadai. Pokja Pemilihan hanya melakukan review dokumen, dan jika ada kekurangan, mereka hanya meminta klarifikasi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk “koreksi ulang”.
“Menurut kami, prosesnya sudah sesuai prosedur. Tapi tetap, kebenarannya harus dibuktikan,” ujar Mamik.
Klarifikasi Tertulis: Tameng Palsu untuk Permainan Licik?
Dalam kasus perbedaan alamat, penyedia hanya diminta memberikan klarifikasi tertulis yang sah. Jika dinilai “valid”, proses akan tetap dilanjutkan tanpa perlu verifikasi langsung di lapangan. Ironisnya, LPSE justru menekankan pentingnya akurasi data, namun secara bersamaan membuka celah lebar bagi ketidaksesuaian data yang hanya ditambal sulam dengan “klarifikasi tertulis”.
Meskipun Mamik mengancam sanksi administratif bagi ketidaksesuaian yang tidak dapat dijelaskan, pernyataan penutupnya justru menimbulkan kecurigaan baru. “Kami punya semua dokumen lengkap. Tapi kalau disuruh menunjukkan berkas, saya tidak berani. Harus aparat penegak hukum (APH) yang minta,” tandas Mamik. Pernyataan ini mengisyaratkan adanya rahasia yang disimpan rapat, dan menimbulkan pertanyaan: mengapa LPSE Ngawi begitu enggan membuka dokumen vital ini kepada publik, jika memang semua prosedur sudah sesuai dan transparan?
Pernyataan Mamik ini tidak hanya memicu tanda tanya besar di kalangan masyarakat, tetapi juga menuntut investigasi menyeluruh oleh aparat penegak hukum. Potensi kerugian negara akibat praktik pengadaan yang longgar dan minim pengawasan fisik bisa jadi jauh lebih besar dari yang dibayangkan. ( Tim.Red** )



