NGAWI .FREKWENSIPOS.COM – Proses penjaringan Calon Perangkat Desa Tirak, Kecamatan Kwadungan, Kabupaten Ngawi yang direncanakan dilaksanakan tgl 26/10/2025 kini dihadapkan pada turbulensi sanksi normatif dan gejolak sosial menyusul dugaan adanya calon yang secara terang-terangan masih berada dalam status Pembebasan Bersyarat (PB) dalam Kasus Narkotika . Isu krusial ini memicu pertanyaan fundamental tentang integritas administrasi publik di tingkat desa dan potensi maladministrasi yang melibatkan perangkat birokrasi, terutama dalam konteks penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Perlu dikaji , Secara doktrinal hukum acara pidana, status Pembebasan Bersyarat merupakan fase transisional pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan. Status ini, secara tegas, menyiratkan bahwa terpidana belum selesai menjalani pidana pokok secara murni. Kondisi ini secara otomatis menempatkan yang bersangkutan dalam posisi diskualifikasi substantif dari perebutan jabatan publik tidak bisa disamakan dengan anak yang berstatus narapidana anak mengikuti ujian sekolah dibawah pengawasan Dinas Pendidikan dan Lapas / Balapas .
ANALISIS HUKUM ACARA: CELA KEARIFAN LOKAL MELANGGAR KETENTUAN HUKUM POSITIF
Menurut pandangan Ketua Komunitas Warga Peduli Ngawi ( KOWPLING ) yang juga menjabat ketua Sub bidang Politik dan Hukum DHC 45 Kab .Ngawi , syarat mendasar bagi Mantan Terpidana untuk kembali ke ranah publik adalah telah “selesai menjalani pidana” (bebas murni), serta melakukan deklarasi publik yang jujur dan terbuka —terutama bagi tindak pidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih. Dengan sang calon masih dalam masa PB, terjadi anomali diskursus hukum: hak-hak sipil untuk menduduki jabatan publik (sebagai derivasi dari prinsip hak asasi manusia) secara prosedural-hukum belum dapat direhabilitasi penuh.
Eksaserbasi Pelanggaran Prosedur: SKCK sebagai Indikator Defisit Intelektual Institusi
Polemik ini semakin tajam tatkala menyoroti peran Kepolisian dalam penerbitan SKCK. Dalam mekanisme baku, penerbitan SKCK harus didahului dengan surat pengantar resmi dari Kepala Desa setempat. Hingga saat ini kepela desa tirak Suprapto belum bisa memberi keterangan diduga sakit.
Ketua KOWPLING berpandangan bahwa jika Kepala Desa Tirak berani menerbitkan surat pengantar tersebut, patut diduga kuat telah terjadi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan atau abuse of power—sebuah tindakan yang memiliki implikasi pidana serius. Kepatuhan pada prosedur ini adalah esensi dari kecakapan intelektual dan prinsip kehati-hatian (prudence principle) institusi pemerintahan. Ketidaktanggapan terhadap celah hukum ini mengindikasikan defisit integritas institusi di level Desa.
DESAKAN RADIKAL PENEGAKAN HUKUM: PENARIKAN SKCK DAN ADVOKASI MASYARAKAT
Menyikapi “kegaduhan” (public outcry) yang timbul, mendesak institusi Kepolisian untuk mengambil tindakan radikal-korektif berupa pencabutan SKCK yang telah terbit. Pencabutan ini adalah langkah yuridis yang imperatif demi memulihkan tertib hukum dan menghindari preseden buruk yang dapat mendegradasi trust publik (kepercayaan masyarakat) terhadap sistem seleksi jabatan publik.
Kekawatiran dan kecurigaan adanya “Kepentingan Beberapa Oknum” yang berupaya merekayasa proses Penjaringan Calon Perangkat Desa. Diduga kuat calon peserta pengisian perangkat desa Tirak berinisial A adalah anak dari Kepala desa Tirak yang sekarang menjalani Pembebasan Bersyarat ( PB ) dari Lapas ii A Madiun sampai tahun 2026.
” Dikawatirkan dari kejadian ini atau pembiaran dari kejadian ini berdampak menurunkan kepercayaan masyarakat pada desa , kecamatan dan APH dan menimbulkan ceos yang melebar disejumlah desa dikabupaten Ngawi yang akhir-akhir ini menyelenggarakan pengisian perangkat desa “, ujar B ketua KOWPLING.( BPW )



